Senin, 28 Juli 2014

PENGARUH POLITIK DINASTI DI DAERAH TERHADAP PEREKONOMIAN

Oleh Sulfiana


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Lahirnya pemikiran untuk melakukan suatu perubahan sistempemerintahan dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi memberikanharapan yang sangat besar bagi bangsa Indonesia untuk menciptakankesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Banyak pihak yang menganggapbahwa sistem ini akan memberikan jawaban terhadap keraguan seluruh bangsaIndonesia yang selalu menganggap bahwa pembangunan hanya terpusat padaPulau Jawa, pulau yang menjadi tempat pusat pemerintahan. Dulunyapemerintah pusat harus mengurusi seluruh daerah yang ada di Indonesia,sehingga mau tidak mau pasti ada daerah yang akan luput dari perhatianpemerintah pusat, mengingat begitu banyak dan luasnya daerah yang ada diNegara Kesatuan Republik Indonesia ini serta tidak didukungnya dengan aksestransportasi yang memadai.
Upaya untuk memperjelas adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan pasca pemerintahan Orde Baru memang telah membawa hasil yang cukup bermakna. Kekuasaan yang sebelumnya tersentralisasi kemudian menjadi terbagi-bagi. Di tingkat pemerintahan pusat, distribusi kekuasaan di lembaga-lembaga Negara lebih tampak, sehingga memungkinkan terjadinya saling kontrol antara satu dengan yang lain. Di dalam relasi antara pusat dan daerah, kekuasaan juga terdistribusi. Di dalam membuat kebijakan-kebijakan, pemerintah daerah tidak lagi sangat bergantung pada pemerintah pusat sebagaimana terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya.
Sistem ini membuat seseorang menjadi termotivasi untuk menjadi salah satu pejabat tertinggi dalam suatu daerah dan bisa mengatur segala urusan di dalam daerah yang di bawahinya. Dalam hal ini tidak jarang partai politik menjadi peran utama untuk mencapai tujuan seseorang. Perlu diketahui bahwa pada saat ini banyak kasus yang terjadi terkait dengan politik dinasti dalam suatu pemerintahan daerah karena adanya kekuasaan dari pemerintah daerah dan ini merupakan penyelewengan kekuasaan ketika hal tersebut menimbulkan kerugian yang besar terhadap perekonomian dan pembangunan dari daerah tersebut.
Menurut pakar psikologi politik itu pada hakikatnya kekuasaan yang menjadi motif utama para politisi tersebut sebenarnya bersumber pada konflik intrapsikis yang dialihkan ke domain publik. Dengan kata lain, Laswell curiga bahwa arena politik sebagai “ajang perebutan kekuasaan” tidak lebih sebagai kompensasi dari ketidakmampuan seseorang mengatasi konflik-konflik dalam jiwanya sendiri. Motif kekuasaan ini menurut Lasswellbiasanya diberi pembenaran (rasionalisasi) yang bermacam-macam, seperti demi ideology, kepentingan rakyat, dan lain-lain.
Istilah dinasti politik atau politik dinasti dimengerti sebagai praktik membangun kekuasaan yang menggurita oleh sejumlah orang yang masih memiliki kaitan kekerabatan.Sejak otonomi digelar di Indonesia, yang kemudian diikuti pemilihan daerah yang digelar langsung, ada kecenderungan bermunculan dinasti-dinasti politik.
Dinasti politik merupakan sebuah serangkaian strategi politik manusia yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya. Itulah pengertian netral dari dinasti politik. Terdapat pula pengertian positif dan negatif tentang dinasti politik. Negatif dan positif tersebut bergantung pada proses dan hasil (outcomes) dari jabatan kekuasaan yang dipegang oleh jaringan dinasti politik bersangkutan. Kalau proses pemilihannya fair dan demokratis serta kepemimpinan yang dijalankannya mendatangkan kebaikan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat maka dinasti politik dapat berarti positif. Akan tetapi, bisa berarti negatif jika yang terjadi sebaliknya. Selain itu, positif dan negatif arti dinasti politik juga ditentukan oleh realitas kondisi sosial masyarakat, sistem hukum dan penegakan hukum, dan pelembagaan politik  bersangkutan.  Dinasti politik yang terdapat pada masyarakat dengan tingkat pendidikan politik yang rendah, sistem hukum dan penegakan hukum yang lemah serta pelembagaan politik yang belum mantap, maka dinasti politik dapat berarti negatif.
Jadi bagaimana seharusnya masyarakat menilai budaya politik dinasti ini, dan apakah masyarakat termasuk pihak yang mendukung hal tersebut ketika dikaitkan dengan pemilihan umum di mana masyarakat terlibat di dalamnya dan apakah dampak yang ditimbulkan politik dinasti tersebut hanya bisa dibiarkan begitu saja? Dari semua latar belakang tentang Politik Dinasti ini, maka pemakalah ingin mengulas tentang Pengaruh Politik Dinasti di Daerah Terhadap Perekonomian”.

B.     Rumusan Masalah
Fenomena Politik Dinasti ini merupakan perhatian publik dari zaman presiden pertama hingga sampai saat ini. Kekuasaan tak boleh lepas dari genggaman orang yang punya hubungan persaudaraan, sehingga hanya terdistribusi dan bergerak melingkar di antara pihak-pihak yang memiliki pertalian darah. Dari latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah pengaruh politik dinasti di tingkat daerah terhadap perekonomian dan pembangunan daerah?
2.      Bagaimanakah pro dan kontra masyarakat dengan adanya budaya politik dinasti tersebut?



BAB II
KAJIAN TEORI
Tidak dapat dipungkiri Politik dinasti memang masih sangat kental keberadaannya di Indonesia. Secara hukum dan konstitusi, politik dinasti merupakan fenomena yang legal dan tidak dilarang oleh UU. Akan tetapi selayaknya politisi harus menggunakan kesempatan tersebut dengan bijak, yaitu mengutamakan kompetensi untuk menduduki suatu jabatan. Seperti pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meskipun konstitusi ataupun undang-undang tidak melarang orang yang memiliki hubungan kekerabatan menduduki jabatan di daerah, ada batasan norma kepatutan. Menurut Presiden, politik dinasti akan sangat berbahaya jika kekuasaan politik dan kekuasaan bisnis menyatu di suatu daerah.
Untuk itu, politisi maupun pemerintah yang hendak melakukan praktek politik dinasti perlu melakukan evaluasi ulang agar dapat mencetak pemimpin-pemimpin terbaik di negeri ini. Evaluasi tersebut perlu diimplementasikan dalam bentuk kaderisasi yang selektif dan kompeten meskipun berasal dari keluarga sendiri. Sehingga masyarakat menganggap politik dinasti sebagai bagian dari keberagaman politik di Indonesia.
Dewan Pimpinan Pusat Ormas Persatuan Indonesia (PERINDO) menilai aturan soal dinasti politik sebaiknya diatur dalam UU Pilkada. Sebab itu, aturan dinasti politik mendesak segera diwujudkan dalam pembahasan RUU Pilkada. DPR dan pemerintah sepakat memasukkan aturan pembatasan praktek dinasti politik dalam Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah.Rancangan pasal itu menyebutkan, keluarga kepala daerah baru dibolehkan mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah setelah lima tahun sejak kepala daerah itu turun dari jabatannya.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGARUH POLITIK DINASTI DI DAERAH TERHADAP PEREKONOMIAN DAN PEMBANGUNAN DAERAH
Politik kekerabatan, lazim dijumpai pada masyarakat tribal-pastoral. Garis kekeluargaan merupakan penentu utama sistem kepemimpinan komunal, sekaligus menjadi pola pewarisan kekuasaan politik tradisional. Politik kekerabatan, dibangun di atas basis pemikiran yang bertumpu pada doktrin politik kuno: blood is thicker than waterdarah lebih kental daripada air. Doktrin ini menegaskan, kekuasaan, karena dapat mendatangkan kehormatan, kemuliaan, kekayaan, dan aneka social privileges, harus berputar di antara anggota keluarga dan para kerabat saja.
Dinasti politik memang menjadi salah satu isu penting dalam studi politik maupun sosiologi politik. Dinasti politik tidak sekadar terkait dominasi kekuasaan oleh seorang aktor politik yang mewariskan dan mereproduksi kekuasaannya kepada keluarganya, tetapi juga terkait bagaimana konstruksi sosial masyarakat didesain dalam sebuah relasi sosial yang berkeadilan dan lebih humanis.
Dalam hal ini, dinasti politik tidak hanya dipahami dalam perspektif politik, tetapi juga menjadi masalah sosiologis dalam realitas masyarakat. Kekuasaan hanyalah sebagai pintu masuk bagaimana alat-alat kekuasaan ekonomi politik dikuasai oleh keluarga aktor tersebut. Justru yang menjadi masalah akut adalah kekuasaan tersebut tidak mampu membawa perubahan sosial ekonomi kepada masyarakat banyak. Kekuasaan hanyalah menjadi tameng bagi keluarganya untuk menguasai hajat hidup orang banyak dan dilakukan hanya untuk memakmurkan kekuasaan ekonomi politik lingkaran keluarganya.
Para kerabat lantaran pertalian darah dianggap lebih dapat dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Maka, para elite politik Indonesia secara massif mengusung anggota keluarga menjadi caleg atau calon kepala daerah. "Ini bentuk manipulasi sistem politik modern melalui mekanisme demokrasi prosedural yang memang mengandung banyak kelemahan.Dampak dari Politik Dinasti ini antara lain adalah :
1.      Perilaku Korupsi dan Nepotisme di daerah
Perilaku korupsi di daerah sudah semakin jamak. Targetnya adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hasil penelitian KPK menunjukkan, APBD dijadikan sasaran korupsi oleh sebagian pejabat pemerintah daerah dan DPRD. Ini melibatkan cukong politik dan cukong finansial. Setidaknya tercatat 1.890 laporan korupsi terjadi di sejumlah daerah, termasuk daerah pemekaran. Banyak kongkalikong terjadi dalam pemanfaatan dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.
Sebut saja, misalnya, kasus penyelewengan APBD Kabupaten Garut 2004-2007 sebesar Rp 6,9 miliar, dengan tersangka Agus Supriadi, mantan Bupati Garut. Lalu, penyalahgunaan APBD Kabupaten Langkat tahun anggaran 2000-2007 sebesar Rp 91 miliar. Tersangkanya adalah mantan Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin, yang saat kasus itu terjadi masih menjabat sebagai Bupati Langkat. Penggerogotan keuangan daerah merupakan bentuk kejahatan, yang mengakibatkan banyak hak rakyat gagal ditegakkan.
Contoh lain adalah kasus pemborosan oleh Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, yang tidak mau menempati rumah dinas seharga Rp 16,14 miliar yang sudah selesai dibangun pada Februari 2012, dengan alasan perabotan dan perlengkapannya belum siap. Alasan ini dinilai mengada-ngada. Anehnya, Ratu Atut lebih memilih menempati rumah pribadi miliknya sendiri, yang dikontrak oleh Pemprov Banten sebagai rumah dinas, dengan nilai kontrak Rp 250 juta per tahun. Selama kepemimpinannya, uang negara yang dihabiskan untuk biaya rumah dinas mencapai Rp 1,750 miliar. Artinya, Pemprov harus membayar ke Ratu Atut senilai Rp 250 juta tiap tahun, agar Ratu Atut bisa tinggal di rumahnya sendiri yang diperlakukan sebagai rumah dinas.
Faktor-faktor yang mendorong korupsi, atau situasi yang dianggap mendukung korupsi, yaitu :
a.       Kedekatan sistem dan kontak yang intensif antara ekonomi dan administrasi
b.      Arus informasi yang masuk tidak menyolok
c.       Pemusatan kompetensi pada pekerja ahli tertentu dengan ruang gerak yang memungkinkan mereka mengmbil keputusan
d.      Batasan yang kabur antara hal-hal yang dapat diterima secara sosial dan perbuatan yang melanggar hokum
e.       Kurangnya kesadaran korban bahwa mereka diperlakukan tidak adil.
Dalam masyarakat seperti Indonesia atau Thailand, faktor kultural yang umumnya mendorong timbulnya korupsi, misalnya, adalah adanya nilai atau kebiasaan sebagai berikut :
a)      Adanya tradisi pemberian hadiah, oleh-oleh atau semacam itu kepada pejabat pemerintah. Tindakan seperti itu di Eropa atau Amerika Utara bisa dianggap korupsi, tapi di kedua masyarakat Asia tu tidak. Bahkan pemberian seperti itu bisa dianggap sebagai bentuk pemenuhan kewajiban oleh kawula kepada gustinya
b)      Sangat pentingnya ikatan keluarga dan kesetiaan parokial lainnya. Dalam masyarakat seperti Indonesia, kewajiban seseorang pertama-tama adalah memperhatikan saudara terdekatnya kemudian trah atau sesame etniknya. Sehingga seorang saudara yang mendatangi seseorang pejabat untuk minta perlakuan khusus sulit untuk ditolak. Penolakan bisa diartikan sebagai pengingkaran terhadap kewajiban tradisional. Tetapi menuruti permintaan berarti mengingkari norma-norma hokum formal yang berlaku.
Nepotisme adalah salah satu bentuk korupsi. Nepotisme ini juga berlangsung di banyak daerah pada era reformasi. Banyak anak, istri, suami, saudara kandung, saudara tiri, keponakan, menantu, dan mertua menikmati jabatan publik karena ada hubungan kekerabatan dengan pejabat sebelumnya, terutama dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada). Para politikus lebih suka mewariskan kekuasaan kepada kerabatnya, yang diyakini akan lebih loyal dan tidak akan berkhianat, dengan cara memanipulasi sistem politik dan demokrasi.
Telah banyak kasus terungkap tentang nepotisme yang terjadi di daerah.


Contoh Dinasti Politik di Daerah
Semenjak otonomi daerah diberlakukan di sejumlah daerah bermunculan dinasti-dinasti politik. Beberapa contoh dinasti politik daerah dapat disebut, di antaranya adalah:
1)      Dinasti keluarga Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, yang menguasai jajaran eksekutif dan legislatif di tingkat provinsi dan seluruh kabupaten di Banten;
Rincian :
a.       Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Provinsi Banten;
b.      Suami Ratu Atut Chosiyah, Hikmat Tomet, anggota Komisi V DPR dan Pemilu 2014 ikut kembali pencalegan dari Dapil Banten;
c.       Anak pertama Ratu Atut Chosiyah, Andika Hazrumy, anggota DPD dan Pemilu 2014 ikut mencalonkan sebagai Caleg Dapil Pandeglang-Lebak;
d.      Menantu Ratu Atut Chosiyah, istri Andika, yakni Ade Rosi Khaerunissa, Wakil Ketua DPRD Serang dan mendaftar sebagai caleg DPRD Banten dari Partai Golkar;
e.       Anak lainnya dari Ratu Atut Chosiyah, Andiara Aprilia Hikmat mencalonkan diri sebagai anggota DPD;
f.       Menantu Ratu Atut, suami Apilia, Tanto Warbono, caleg DPRD Provinsi Banten di Dapil Kota Tangerang Selatan;
g.      Kakak kandung Ratu Atut, Ratu Tatu Chasanah, Wakil Bupati Serang;
h.      Adik tiri Ratu Atut, Haerul Jaman, Walikota Serang;
i.        Adik ipar Ratu Atut, Airin Rachmi Diany, Walikota Tangerang Selatan;
j.        Adik ipar Ratu Atut, Aden Abdul Cholik, anggota DPRD Provinsi Banten;
k.      Ibu tiri Ratu Atut, Heryani, Wakil Bupati Pandeglang;
l.        Ibu tiri Ratu Atut, Ratna Komalasari. Anggota DPRD Kota Serang;
2)      di Kabupaten Kutai Kartanegara-Kaltim dimana bupati yang sekarang,  Rita Widyasari, adalah anak dari bupati sebelumnya yang bermasalah secara hukum. Rita Widyasari berhasil mengalahkan Awang Ferdian Hidayat yang merupakan anak dari Awang Farouk, Gubernur Kaltim saat ini;
3)      di Bontang-Kaltim,  istri walikota Bontang yang juga menjabat sebagai ketua DPRD Bontang, Neni Moernaeni, maju dalam Pemilukada Bontang 2011;
4)      di Lampung, juga disesaki persaingan putra tokoh politik. Rycko Menoza, anak Gubernur Lampung, Sjachroedin, berhasil menjadi Bupati Lampung Selatan. Di Way Kanan, putra bupati setempat, Agung Ilmu Mangkunegara, bersiap meneruskan kekuasaan sang ayah. Anak Bupati Tulang Bawang, Arisandi Dharma Putra, berlaga di Pemilukada kabupaten lain: Pesawaran. Di Kota Bandar Lampung, Heru Sambodo, anak Ketua Golkar Lampung, Alzier Dianis Tabrani, mengincar posisi walikota.
5)      Di Jambi, terjadi persaingan untuk jabatan gubernur mendatang di antara dua orang keluarga dekat Gubernur Zulkifli Nurdin, yang telah menjabat dua periode, yaitu  Hazrin Nurdin, adik gubernur, dan Ratu Munawwaroh, istri gubernur.
6)      Di Tabanan-Bali, Eka Wiryastuti, anak Bupati Tabanan,  Adi Wiryatama, bersikeras maju menggantikan kursi bapaknya. Di Lombok Tengah, NTB, pada Pemilukada Juni 2005, melahirkan pasangan mertua-menantu pertama sebagai bupati (Lalu Wiratmaja) dan wakil bupati (Lalu Suprayatno). (7) Di Kalimantan Tengah, muncul dinasti keluarga Narang. Pada saat Teras Narang dilantik menjadi Gubernur Kalteng pada Agustus 2005, ketua DPRD kalteng dijabat oleh kakaknya, Atu Narang. Pasca-Pemilu 2009, pamor dinasti politik Narang makin benderang. Atu Narang terpilih kembali sebagai Ketua DPRD Kalteng. Putra sulung Atu, Aris Narang, menjadi anggota DPRD Kalteng dengan suara terbayak. Adik Aris, Asdy Narang, terpilih jadi anggota DPR-RI.
7)      Di Sulawesi Selatan, terdapat dinasti keluarga Yasin Limpo. Pensiunan Angkatan Darat ini pernah menjadi Bupati Luwuk, Majene, dan Gowa. Yasin telah pensiun. Tapi istri dan anak-anaknya tetap berkiprah di ranah politik. Pada periode 2004-2009, istri Yasin, Nurhayati, menjadi anggota DPR-RI. Putra pertamanya, Tenri Olle, jadi anggota DPRD Gowa. Tenri bertugas mengawasi adiknya, Ichsan Yasin (putra kelima), selaku Bupati Gowa. Putra kedua, Syahrul Yasin, menjadi Wakil Gubernur Sulsel dan sejak April 2008 naik jadi gubernur setempat.
8)      Di Jawa Tengah, terdapat salah satu keluarga legendaris sebagai pemasok pejabat publik setempat yaitu keluarga pasangan R. Sugito Wiryo Hamidjoyo dan R. Rustiawati. Lima dari 11 putra Sugito meramaikan bursa jabatan publik di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada periode 2004-2009. Putra kedua, Don Murdono, jadi Bupati Sumedang sejak 2003 dan terpilih untuk kedua kalinya pada 2008. Adiknya, Hendy Boedoro, menjadi Bupati Kendal sejak tahun 2000 dan terpilih untuk kedua kalinya pada 2005. Karier Hendy tersandung. Sejak Desember 2006, ia ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.  Si bungsu, Murdoko, juga tak mau kalah. Ia melesat jadi Ketua DPRD Jawa Tengah 2004-2009 dan terpilih untuk kedua kalinya pada 2009. Sang ayah, Sugito, dulu adalah Sekretaris PNI Kendal.
9)      Di Kabupaten  Indramayu-Jawa Barat, Bantul-D.I. Yogyakarta  dan Kediri-Jawa Timur, di mana bupati sekarang di 3 kabupaten tersebut adalah istri dari bupati sebelumnya;  dan masih banyak contoh lainnya di berbagai daerah di Indonesia.
2.      Perencanaan Pembangunan Daerah Buruk
Penelitian terhadap Indeks Tata Kelola Pemerintahan atau Indonesia Governance Index (IGI) menemukan, kualitas perencanaan pembangunan daerah di seluruh Indonesia masih buruk. Hanya dua dari 33 provinsi yang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah (LKPj) sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)-nya.
"Kami menemukan, kualitas perencanaan pembangunan masih buruk. Kalau dilihat dari kesesuaian RPJMD dengan LKPj, dari 33 provinsi, rata-rata nilainya hanya 3,55 dari nilai maksimal 10," ungkap Senior Adviser Kemitraan Abdul Malik Gismar dalam pemaparan hasil IGI, Senin (2/9/2013), di Hotel JW Marriott, Jakarta Selatan.
Ia mengungkapkan, dari hasil penelitian yang dilakukan pihaknya, hanya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan DKI Jakarta yang memiliki kesesuaian antara RPJMD dengan LKPj.
Gismar memaparkan, dari beberapa daerah bahkan tidak mencantumkan target tahunan yang ingin dicapainya dalam RPJMD. Selain itu, katanya, berdasarkan penelitian 2011 lalu, banyak daerah yang terlambat mengesahkan anggaran penerimaan dan belanja daerah (APBD).
"Beberapa provinsi baru mengesahkan APBD 2011 pada rentang waktu Januari hingga April 2011. Daerah tersebut adalah Bengkulu, DKI Jakarta, Papua Barat, dan Aceh," kata Gismar.
Dia mengatakan, keterlambatan pengesahan APBD menyebabkan keterlambatan pelaksanaan program kerja. Dengan demikian, ujarnya, pelayanan publik pun terhampat.
"Akibat yang lebih fatal misalnya penyebaran penyakit atau gizi ibu dan anak kurang," katanya. Ia menilai, dari hasil peneilitian IGI, kinerja DPRD cenderung rendah. Menurutnya, hal itu mempengauhi kinerja pemerintahan secara keseluruhan.
"Meskipun DPRD memiliki dana operasional yang besar, performa DPRD lemah. Ini menimbulkan pertanyaan soal efisiensi dan efektivitas DPRD provinsi," ujar Gismar.  Kemitraan meluncurkan evaluasi kinerja pemerintahan daerah melalui Indeks Tata Kelola Pemerintahan atau Indonesia Governance Index. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, memerintahkan kepada seluruh kepala daerah untuk menggunakan penilaian tersebut sebagai evaluasi dan perbaikan kinerja pemerintahan.
Praktik politik dinasti yang dilakukan sejumlah kepala daerah dinilai sudah menyimpang dari gagasan demokrasi. Peneliti ICW Ade Irawan menyebutkan, praktik politik yang terkesan demokratis ini ternyata hanya dikuasai segelintir elit lokal yang hanya bermotif mencari keuntungan semata.
"Mereka (keluarga) menguasai instrumen demokrasi yang ada di daerah dengan harapan mencari proyek pemerintah," katanya. Menurut Ade, berdasarkan penelitian yang dilakukan, tujuan kerabat kepala daerah yang ingin menduduki jabatan publik di daerah tersebut ternyata bukan untuk gagah-gagahan apalagi ingin menyejahterakan masyarakat setempat. Motif mereka kebanyakan hanya ingin mencari dan menguasai proyek yang bersumber dari dana APBD.
"Caranya dengan menempatkan perusahaan yang dimiliki keluarga untuk ikut tender dan menguasainya," ujarnya. (Emir Chairullah)
3.      Angka Penganggura Terbuka
Tidak ada yang bisa melarang seorang relasi atau kerabat pejabat untuk dipilih dan menjadi pejabat juga. Itu merupakan hak konstitusional. Namun, jelas menjadi mengherankan apabila terlalu banyak orang dari sebuah klan menjabat jabatan publik. Apalagi rakyat Banten tetap miskin. Baru baru ini, Badan Pusat Statistik merilis Data Strategis 2013,yangdi antaranya mengungkap tentang kondisi ketenaga-kerjaan di seluruh provinsi di Indonesia, termasuk angka pengangguran terbuka.
Akibat kekuasaan hanya dikuasai oleh beberapa orang yang berasal dari satu keluarga tanpa memberi ruang kepada pihak lain untuk berpartisipasi.
4.      Dampak Buruk Bagi Akuntabilitas Birokrasi dan Pemerintahan
Kita boleh sependapat dinasti politik tidak akan merusak demokrasi, tetapi menjadi tidak sehat dalam kehidupan berdemokrasi, termasuk jalannya pemerintahan. Mengapa?
Setidaknya muncul tiga kekhawatiran :
Pertama, ada upaya melanggengkan kekuasaaan.
Kedua, menutup peluang calon lain yang berkualitas.
Ketiga, kekhawatiran menguatnya kolusi dan nepotisme.
Ketiga kekhawatiran ini cukup beralasan seiring merebaknya penggalangan kekuatan bagi pejabat daerah untuk melanggengkan kekuasaan dengan memaksanakan kerabatnya menduduki jabatan strategis, meski tidak memiliki integritas. Inilah yang dimaksudkan dengan politik dinasti. Jika ini dipaksakan, boleh jadi akan terbangun dinasti regional, tetapi di sisi lain dapat merapuhkan stabilitas politik regional.
Upaya mencegah praktik politik uang demi melanggengkan dinasti regional, kalangan legislatif mencoba memagarinya melalui RUU Pilkada yang sekarang dalam pembahasan di DPR. Ada satu rumusan pasal  yang melarang  kerabat incumbent atau keluarga dekat incumbent apakah gubernur, bupati, wali kota,  maju sebagai calon kepala daerah di wilayah yang sama.
5.      Mengabaikan Etika Politik dan Mengebiri Hak Politik Orang Lain
Pemerintahan yang dihasilkan dari dinasti politik lebih berorientasi mencari keuntungan untuk keluarga, bukan demi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.
6.      Dinasti Politik di Era Otonomi Daerah
Dengan dikeluarkannya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah pusat memberikan kekuasaan yang sangat luas kepada daerah provinsi atau kabupaten/kota. Apalagi di tahun 2005 dilaksanakan pemilihan kepala daerah langsung, yang pertama kali dilaksanakan di Sulawesi Utara, pemilihan Gubernur Sulut 2005.
Dengan adanya otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan keluasan kepada putra daerah untuk membangun daerahnya. Otda, partisipasi masyarakat diharapkan lebih banyak dalam membantu pembangunan. Namun dalam prakteknya ternyata otonomi daerah ini bukan seperti itu. Malah otda ini memberikan keluasan kepada elite untuk menguasai daerah.
Politik dinasti ini sebagai cambuk bagi berlangsungnya otonomi daerah. Dimana otonomi daerah yang diberikan pusat bukannya untuk dirasakan oleh semua masyarakat, tetapi lebih kepada elite masyarakat. Banyak kalangan yang menyatakan bahwa saat ini di Indonesia sedang tersandera oleh demokrasi modern, yang disebut politik dinasti.
Politik dinasti ini meresahkan banyak kalangan. Banyak yang berpendapat bahwa kalau politik dinasti ini dibiarkan, maka akan timbul kerajaan-kerajaan seperti di zaman dahulu. Dimana yang akan menjadi Gubernur/Bupati/Walikota adalah dari kelangan, keturunan dan keluarganya saja.

B.     PRO DAN KONTRA MASYARAKAT TERHADAP POLITIK DINASTI
Dalam menilai Politik Dinasti ini, sebagian dari masyarakat tidak keberatan dengan adanya Politik Dinasti tersebut, namun sebgian yang lain tidak menyetujui bahkan mengharapkan untuk diadakan pembatasan terkait dengan politik dinasti tersebut.
Pendapat dari Pihak yang Tidak Keberatan (Pro) dengan adanya Politik Dinasti
Mengapa dinasti politik dipermasalahkan di Indonesia? Apa yang salah dengan dinasti politik di Indonesia?  Bukankah mengikuti kontestasi politik untuk menjadi pimpinan jabatan publik, seperti kepala daerah, merupakan hak politik tiap warga negara? 
Itulah kira-kira  beberapa gambaran pertanyaan yang diajukan oleh para penentang pembatasan dinasti politik di Indonesia.
Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa Fenomena dinasti politik ini sebenarnya bukan khas Indonesia. Fenomena ini terjadi pula di berbagai negara, baik di negara berkembang maupun negara maju. Di India dan Pakistan misalnya, terdapat dinasti politik Gandhi dan Bhutto. Di Thailand dan Filipina terdapat dinasti politik Sinawatra dan Aquino. Di Lebanon-Timur Tengah, terdapat dinasti politik Gemayel dan Hariri. Di Amerika Serikat terdapat dinasti politik Bush, Clinton, dan tentu saja yang paling terkenal adalah dinasti politik Kennedy.
Politik kekerabatan, lazim dijumpai pada masyarakat tribal-pastoral. Garis kekeluargaan merupakan penentu utama sistem kepemimpinan komunal, sekaligus menjadi pola pewarisan kekuasaan politik tradisional. Politik kekerabatan, dibangun di atas basis pemikiran yang bertumpu pada doktrin politik kuno: blood is thicker than water darah lebih kental daripada air. Doktrin ini menegaskan, kekuasaan karena dapat mendatangkan kehormatan, kemuliaan, kekayaan, dan aneka social privileges harus berputar di antara anggota keluarga dan para kerabat saja.
Kekuasaan tak boleh lepas dari genggaman orang yang punya hubungan persaudaraan, sehingga hanya terdistribusi dan bergerak melingkar di antara pihak-pihak yang memiliki pertalian darah. Merujuk pada dalil blood is thicker than water itu, di era modern, para politikus mewariskan kekuasaan kepada kerabatnya dengan cara memanipulasi sistem politik demokrasi.
Para kerabat lantaran pertalian darah dianggap lebih dapat dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Maka, para elite politik Indonesia secara massif mengusung anggota keluarga menjadi caleg atau calon kepala daerah. "Ini bentuk manipulasi sistem politik modern melalui mekanisme demokrasi prosedural yang memang mengandung banyak kelemahan.
Mereka menjadi caleg atau calon kepala daerah lebih karena political privileges keluarga, yang hanya memproduksi politisi tiban atau karbitan. Bukan political credentials kreasi mereka sendiri, yang melahirkan politisi sejati nan otentik.
Political credentials bisa diperoleh melalui tiga jalan. Pertama, aktivisme sosial-politik yang mendapat pengakuan publik sehingga melahirkan sosok politisi genuine, kredibel, dan bereputasi cemerlang. Kedua, pendidikan yang mengantarkan seseorang menjadi politikus terpelajar dengan prestasi individual yang secara objektif diakui masyarakat. Ketiga, kombinasi antara aktivisme sosial-politik dan pengalaman pendidikan yang panjang.
Pendapat dari Pihak yang Keberatan (Kontra) dengan adanya Politik Dinasti
Dinasti politik perlu dibatasi karena pertimbangan berikut. Pertama, dinasti politik, terutama di daerah, hanya akan memperkokoh politik oligarkhi yang bernuansa negatif. Bila jabatan-jabatan penting di lembaga eksekutif dan legislatif dikuasai oleh satu keluarga, maka mekanisme checks and balances tidak akan efektif. Akibatnya, rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan diri dan keluarga.
Kedua, dinasti politik mengarah pada terbentuknya kekuasaan yang absolut. Bila jabatan kepala daerah misalnya, dipegang oleh satu keluarga dekat yang berlangsung lama secara terus menerus, misalnya setelah 10 tahun menjabat, kemudian digantikan oleh istrinya selama sepuluh tahun lagi, kemudian oleh anaknya dan seterusnya, maka akan muncul fenomena kekuasaan Soeharto ala orde baru. Kekuasaan absolut yang rawan korup akan terbentuk, sebagaimana adagium politik terkenal dari Lord Acton: “Power tends to corrupt, and Absolute Power Tends to Corrupt Absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut akan cenderung korup secara absolut pula).       
Ketiga, dinasti politik pada masyarakat Indonesia yang pendidikan politiknya relatif kurang dan sistem hukum serta penegakan hukum (law enforcement) yang lemah, maka akan menyebabkan proses kontestasi politik menjadi tidak adil.  Keluarga incumbent yang maju dalam kontestasi politik, seperti Pemilukada, akan dengan mudah memanfaatkan fasilitas pemerintah dan jaringan incumbent untuk memenangkan pertarungan seraya menyingkirkan para kompetitornya. Apalagi, bila keluargapun turut berbisnis ikut dalam tender-tender dalam proyek pemerintah di daerah bersangkutan, maka dapat dibayangkan dana-dana pemerintah dalam bentuk proyek mudah menjadi bancakan dengan aneka warna KKNnya. Dana pemerintah seolah milik uang keluarga. 
Keempat, dinasti politik dapat menutup peluang warga negara lainnya di luar keluarga incumbent untuk menjadi pejabat publik. Tentu hal ini, bila terjadi, akan mendegradasi kualitas demokrasi kita. Untuk itu memang perlu diatur agar jabatan kepala pemerintahan puncak, tidak dijabat secara terus menerus oleh satu keluarga inti secara berurutan.
Kelima, pembatasan dinasti politik diarahkan untuk meningkatkan derajat kualitas demokrasi kita dengan cara memperluas kesempatan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam jabatan-jabatan publik dan mereduksi penyalahgunaan jabatan incumbent dalam kontestasi Pemilu maupun Pemilukada.  
Prinsipnya, pembatasan dinasti politik itu untuk mengatur bukan mematikan hak politik seseorang sama sekali. Oleh karenanya, penulis tidak setuju dengan anggapan bahwa pembatasan tersebut melanggar hak asasi manusia (HAM) seperti yang dilontarkan oleh Sekjend Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Muchtar Sindang.
"Perlu dilakukan pembatasan, supaya minimal untuk satu posisi (jabatan). Penting ada larangan keluarga (kerabat) maju dalam pencalonan kepala daerah. Pemerintah menjelaskan konsep larangan kerabat dan keluarga petahana dalam Pilkada tersebut dilakukan dengan jeda satu periode masa jabatan si petahana atau lima tahun”.
Jika menilik latar belakang terjadinya sistem dinasty ini berawal dari diterbitkannya undang-undang otonomi daerah di mana setiap daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengatur daerahnya sendiri dengan resiko ada banyak ruang untuk terjadinya KKN, lantaran sedikit sekali pengawasan terhadap prilaku politik elit daerah. Andaikan ada pengawasan seperti yang dilakukan BPK berupa audit keuangan, mereka hanya diberikan catatan dan tidak ada satupun yang langsung diekskusi sebagai pelanggaran hukum. Akibatnya di antara mereka yang menjabat sepertinya semakin berani bahkan pasang badan dengan alasan kondisi keuangan mengalami defisit padahal jika ditelaah lebih jauh ada banyak ketimpangan penggunaan anggaran di dalamnya.
Selain ketika mereka sudah menduduki jabatan penting, ketika proses Pilkada banyak dibumbui dengan politik uang ditambah lagi masyarakat yang masih saja mau menerima uang yang jelas-jelas sebagai bentuk pembiaran ketimpangan dalam pemerintahan yang akan mereka pimpin.
Sebuah lingkaran politik yang cukup rumit, karena ketika sebuah keluarga sudah menjadi raja-raja kecil di daerahnya maka akan berakibat pada pola kepemimpinan yang otoriter dan haus akan korupsi. Seperti sebuah jaring laba-laba yang tidak akan memberikan peluang perubahan dan perbaikan bagi daerahnya karena sistem yang dibentuk seperti sebuah kerajaan.
Politik dinasti ini meresahkan banyak kalangan. Banyak yang berpendapat bahwa kalau politik dinasti ini dibiarkan, maka akan timbul kerajaan-kerajaan seperti di zaman dahulu. Dimana yang akan menjadi Gubernur/Bupati/Walikota adalah dari kelangan, keturunan dan keluarganya saja.

Hasil Ulasan Pemakalah
Menurut Pendapat saya, saya sepakat dengan usulan pemerintah yang mengatur  pembatasan syarat jabatan kepala daerah guna menghindari upaya pembangunan dinasti politik di daerah. Sebenarnyasah-sah saja mereka menduduki jabatan penting dalam pemerintahan asalkan tidak mengandung unsur KKN dan ditunjuk karena profesionalisme dan akuntabilitas serta kredibilitas sebagai kepala daerah yang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyatnya apalagi para pemimpin tersebut menunjukkan sikap kesederhanaan dan tidak menunjukkan kemewahan ketika masyarakatnya dalam himpitan kesulitan ekonomi.





BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Saat ini, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri sedang merancang UU untuk meminimalkan  politik dinasti ini. Di dalam RUU tersebut menyebutkan bahwa kepala daerah yang menjabat saat ini (2 x periode jabatan) tidak boleh mencalonkan istri, anak dan keluarganya untuk satu kali pemilihan. Ini dimaksud untuk membatasi adanya kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia.
Politik dinasti harus dilawan oleh semua kalangan. Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dan strategis untuk memutus politik dinasti ini. Masyarakat tidak boleh terlalu bergantung pada sekelompok orang yang ada di daerah itu. Seorang kepala daerah ataupun jabatan penting yang ada di daerah harus diisi oleh orang yang memiliki akuntaabilitas, kapabalitas dan integritas. Bukan oleh mereka yang memiliki uang. Prinsip keadilan harus tetap ditegakkan.

B.     Saran
Para wakil rakyat seharusnya memiliki dan selalu menjunjung tinggi tanggungjawabnya sebagai wakil rakyat. Adanya pertanggungjawaban seperti itu tidak hanya akan menjadikan accountable dan transparan melainkan juga untuk membangun sistem perwakilan yang lebih baik.
Disarankan kepada semua wakil rakyat agar berhati-hati dalam menggunakan kekuasaan karena kekuasaan yang disalahgunakan akan merugikan banyak pihak, dan masyarakat juga diharapkan agar lebih aktif memastikan di mnapun di negeri ini baik di pusat maupun daerah , tidak boleh terjadi monopoli, tidak boleh terjadi konsentrasi kekuasaan politik apalagi dibarengi dengan kepentingan-kepentingan ekonomi dan bisnis yang tidak membawa kebaikan di negeri ini.




DAFTAR PUSTAKA

Andrianus Toni Pito, Efriza, Fasyah Kemal, 2006. Mengenal Teori-Teori Politik. Bandung : Nuansa

Marijan Kacung, 2010. Sistem Politik Indonesia. Jakarta : Kencana.

Mas’oed Mohtar, 2008. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muluk Hamdi, 2010. Mozak Psikologi Politik Indonesia. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

“Ini Dia Cara Mendagri Batasi Dinasti Politik Daerah”, oleh Website Widyaiswara Kemendagri, download Pkl. 13.23 WITA tgl 26-11-2013

“Politik Dinasti Mewarnai Otonomi Daerah”, oleh Dedet Zelthauzallam, download Pkl. 13.25 WITA tgl 26-11-2013

“SBY : Pejabat Daerah Jangan Selewengkan Kekuasaan”, oleh Rico Afrido, download Pkl. 14.11 WITA tgl 26-11-2013

“Politik Dinasti Dalam Pemerintah Daerah”, oleh Tri Widodo W. Utomo, download Pkl. 14.17 WITA tgl 26-11-2013

“Kekuasaan Neo-Dinasti Harus Dihentikan”, oleh Wakil Ketua DPD,download Pkl. 14.17 WITA tgl 26-11-2013

“Dinasti Politik/Kekuasaan? Tolong Berkacalah”, Opini, download Pkl. 14.20 WITA tgl 26-11-2013

“Perilaku Korupsi, Politik Dinasti dan Nepotisme di Daerah”, oleh Satrio Arismunandar, download Pkl. 14.20 WITA tgl 26-11-2013

SBY Sindir Politik Dinasti: Hati-hati dengan Kekuasaan, Godaannya Besar “, oleh Mega Putra Ratya, download Pkl. 14.20 WITA tgl 26-11-2013.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar